Begini 5 Cara Manusia Memperoleh Pengetahuan


Selama sejarah peradaban manusia, terdapat berbagai cara manusia untuk memperoleh pengetahuan, diantaranya melalui pengalaman empiris, otoritas, penalaran deduktif, penalaran Induktif, dan pendekatan saintifik.

(1) Pengalaman Empiris

Pengalaman empiris adalah jenis pengalaman yang diperoleh melalui pengamatan menggunakan panca indera. Melalui pengalaman empiris, kita dapat memperoleh jawaban atas banyak pertanyaan. Misalnya, setelah mencoba beberapa jalur berbeda dari rumah ke sekolah, kita jadi tahu jalur yang lebih cepat untuk tiba di sekolah. Selain itu, kita juga bisa mengetahui jalur yang rawan macet, atau jenis-jenis toko yang dilalui pada jalur tersebut. 

Meskipun dapat memberi pengetahuan yang bermanfaat, pengalaman empiris memiliki kelemahan sebagai sumber pengatahuan. Hal ini dikarenakan persepsi atas pengalaman bergantung pada masing-masing individu. Misalnya, dua orang dapat memiliki pengamatan yang berbeda terhadap satu situasi yang sama. Dua orang supervisor dapat mengamati hal yang sama namun melaporkan kesimpulan yang berbeda, jika pengamat pertama fokus pada aktivitas yang dinilai positif dan pengamat kedua fokus pada aktivitas yang dinilai berdampak negatif pada proses pembelajaran. 


(2) Otoritas

Pengetahuan mengenai hal-hal yang sulit atau tidak mungkin diketahui melalui pengalaman personal, orang-orang umumnya akan bergantung pada otoritas. Otoritas merupakan orang-orang yang telah emiliki pengalaman terkait hal yang ingin diketahui atau telah memiliki kepakaran mengenai hal tersebut. Dalam hal ini, pernyataan atau klaim yang dibenarkan oleh otoritas akan diterima sebagai suatu kebenaran oleh masyarakat. Masyarakat pada abad pertengahan sangat bergantung pada otoritas sebagai sumber pengetahuan. Mereka lebih memilih akademisi seperti Plato dan Aristoteles sebagai sumber informasi, dibandingkan pengamatan langsung. 

Meskipun otoritas merupakan sumber pengetahuan yang bermanfaat, kita tetap harus bertanya, bagaimana otoritas tersebut memperoleh pengetahuan? Pada zaman dahulu, orang-orang menganggap pendapat otoritas benar semata-mata karena posisi yang didudukinya, seperti Raja dan Pendeta. Saat ini, orang-orang tentu tidak lagi bergantung pada pendapat otoritas semata-mata karena posisinya, melainkan karena otoritas tersebut benar-benar merupakan ahli pada suatu bidang tertentu. 

Otoritas memiliki beberapa kelemahan jika diposisikan sebagai sumber pengetahuan. Pertama, otoritas juga bisa salah. Beberapa orang mungkin saja menyebut dirinya sebagai ahli, namun tidak benar-benar memiliki pengetahuan yang relevan untuk mendukung pernyataan yang dikemukakan. Selain itu, beberapa otoritas juga seringkali berbeda pendapat mengenai suatu masalah. Hal ini mengindikasikan bahwa pernyataan autoritatif mereka lebih mengarah ke opini pribadi dibandingkan fakta.

(3) Penalaran Deduktif

Penalaran deduktif merupakan proses berpikir yang berdasar pada pernyataan umum untuk menghasilkan pernyataan spesifik yang diperoleh melalui argumentasi logis. Salah satu jenis penalaran deduktif adalah silogisme. Silogisme terdiri atas premis mayor, premis minor, dan kesimpulan. Sebagai contoh:

Premis mayor: Semua manusia membutuhkan oksigen untuk bernapas
Premis minor: Raja adalah manusia
Kesimpulan: Raja membutuhkan oksigen untuk bernapas

Pada penalaran deduktif, jika premis benar, maka kesimpulan juga benar. Dengan kata lain, untuk menghasilkan kesimpulan yang benar, kita harus berangkat dari premis yang benar. Kesimpulan dari silogisme tidak dapat melampaui isi dari premisnya, karena kesimpulan deduktif merupakan elaborasi dari pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu, proses inquiri sains (scientific inquiry) tidak dapat dilakukan dengan semata-mata berdasar pada penalaran deduktif, karena sulit untuk membangun kebenaran universal dari banyak penyataan terkait fenomena sains. Penalaran deduktif dapat mengorganisisr hal-hal yang telah kita ketahui dan dapat membentuk hubungan-hubungan baru ketika kita memproses dari penyataan umum ke penyataan khusus, namun penalaran deduktif ini tidak memadai jika digunakan sebagai sumber untuk pengetahuan baru. 

Terlepas dari kekurangannya, penalaran deduktif tetap bermanfaat pada proses penelitian karena menyediakan cara untuk menghubungkan teori dengan hasil pengamatan. Deduksi dari teori membantu peneliti untuk membentuk hipotesis, yang merupakan bagian penting dari inquiry sains (scientific inquiry). 


(4) Penalaran Induktif

Penalaran induktif merupakan proses penarikan kesimpulan umum yang didasarkan pada fakta-fakta khusus yang diperoleh dari hasil observasi empiris. Upaya untuk memperoleh pengetahuan melalui penalaran induktif menuntut individu untuk melakukan pengamatan, mengumpulkan fakta, dan membuat generalisasi berdasarkan fakta-fakta yang telah terkumpul. Penalaran induktif inilah yang menjadi prinsip fundamental dari semua ilmu pengetahuan. 

Perhatikan perbandingan penalaran deduktif dan induktif berikut ini:

Deduktif
Premis Mayor: Setiap mamalia memiliki paru-paru
Premis Minor: Semua kelinci adalah mamalia
Kesimpulan: Maka, semua kelinci memiliki paru-paru

Induktif
Pengamatan: Setiap kelinci yang telah diamati memiliki paru-paru 
Kesimpulan: Maka, semua kelinci memiliki paru-paru


Pada contoh di atas, perhatikan bahwa pada penalaran deduktif, premis harus diketahui sebelum kesimpulan dapat ditarik. Sedangkan, pada penalaran induktif, kesimpulan ditarik setelah melakukan pengamatan, dan membuat generalisasi dari contoh yang diamati ke keseluruhan anggota pada kategori tersebut. Pada contoh di atas, paru-paru yang diamati pada semua kelinci yang telah diamati dijadikan dasar untuk menyimpulkan bahwa semua kelinci memiliki paru-paru. Kecimpulan tersebut merujuk ke semua kelinci yang bahkan belum diamati, yang ada di masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. 

Bagaimana kita yakin bahwa kesimpulan penalaran induktif tersebut benar? Untuk benar-benar yakin, maka dapat dilakukan induksi sempurna (perfect induction). Melalui induksi sempurna, maka pengamat mengamati semua anggota dari kelompok target, dalam contoh di atas adalah semua kelinci, baik yang hidup saat ini, maupun yang hidup di masa lalu dan di masa mendatang. Tentu saja, pengamatan seperti ini tidak memungkinkan untuk dilakukan. Umumnya, kita harus bergantung pada induksi tak sempurna (imperfect induction).

Pada induksi tidak sempurna (imperfect induction), kita mengamati sampel yang mewakili kelompok target dan menarik kesimpulan dari sampel yang berlaku bagi keseluruhan kelompok target. Meskipun tidak dapat menghasilkan kesimpulan yang bebas dari kemungkinan salah (infallible conclusion), induksi tidak sempurna (imperfect induction) tetap dapat memberi informasi yang dapat dipercaya terkait kesimpulan dan dapat pula dijadikan dasar untuk pengambilan keputusan. 

(5) Pendekatan saintifik (Scientific approach)

Metode ilmiah dibutuhkan agar usaha yang kita lakukan untuk memahami sebuah fenomena dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah. Opini, intuisi, kepercayaan, dan observasi terlalu subjektif untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah.

Metode Ilmiah didasarkan pada observasi sistematis dan logika yang konsisten. Dengan demikian, penerapan metode ilmiah meningkatkan kemungkinan untuk menghasilkan penjelasan ilmiah terhadap fenomena yang sedang diteliti. Selain itu, metode ilmiah juga memberikan jalan untuk mengevaluasi plausibilitas (plausibility) dari hipotesis atau klaim ilmiah yang diajukan, serta kekuatan dari bukti empiris yang diajukan untuk mendukung hipotesis pada stud empiris yang dilakukan.

Ada 6 karakteristik yang harus dipenuhi agar suatu metode untuk memperoleh pengetahuan dapat dikategorikan ilmiah. Keenam karakteristik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Metode ilmiah membutuhkan hipotesis yang dapat diuji secara empiris. Hipotesis yang dapat diuji secara empiris berarti memungkinkan peneliti untuk mengumpulkan data empiris yang dapat mendukung atau menentang hipotesis tersebut.
2. Metode ilmiah memungkinkan suatu penelitian dilakukan kembali dan hasilnya tetap sama. Dengan kata lain, jika suatu prosedur ilmiah dilakukan berulang-ulang, maka hasilnya akan tetap sama. 
3. Metode ilmiah harus diterapkan secara objektif. Hal ini berarti semua orang dapat melakukan penelitian tersebut dengan memanfaatkan asumsi dan prosedur yang sama, sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang sama pula. Oleh karena itu, untuk sebuah penelitian harus dilakukan dengan seobjektif mungkin dengan menyediakan deskripsi yang jelas dan eksplisit terkait asumsi, konsep, dan prosedur yang digunakan pada proses penelitian. Dengan demikian, tidak ada lagi interpretasi subjektif dari pembaca.
4. Metode ilmiah harus dilakukan secara transparan. Hal ini berarti, penerapan metode yang dilakukan selama proses penelitian harus dibagikan secara terbuka kepada publik, khususnya terkait asumsi apa yang diajukan, bagaimana konsep didefinisikan, prosedur apa saja yang dilakukan, serta informasi lainnya yang penting agar penelitian dapat direplikasi yang akurat oleh ilmuan atau peneliti lain.
5. Metode ilmiah memiliki hipotesis yang falsifiable. Sebuah hipotesis dikatakan falsifiable jika setidaknya peneliti dapat menilai adanya kemungkinan untuk menemukan data hasil observasi yang akan menentang hipotesis yang diajukan. Jika tidak ada kemungkinan untuk menemukan data yang bertentangan dengan hipotesis, maka hipotesis tersebut tidak mungkin ditolak. Dengan demikian, hipotesis tersebut tidak ilmiah.
6. Metode ilmiah memiliki konsistensi logis. Hipotesis yang digunakan pada metode ilmiah harus memiliki konsistensi dan koherensi yang logis. Hal ini berarti, tidak boleh ada kontradiksi internal. Misalnya, terkait asumsi yang akan mendukung hipotesis. Setelah dilakukan pengumpulan data, peneliti harus konsisten dalam menilai data yang dianggap sebagai bukti pendukung ataupun bukti yang tidak mendukung hipotesis.

Setelah memahami keenam karakteristik metode ilmiah di atas, dapat kita simpulkan bahwa 
metode ilmiah memiliki hipotesis yang dapat diuji secara empiris (empirically testable), dapat diuji berulang kali (Replicable), dapat diuji secara indipenden oleh orang lain (objective), dipublikasikan secara terbuka (transparant), memiliki kemungkinan untuk ditolak / tidak didukung oleh data hasil observasi (falsifiable), dan memiliki konsistensi internal (internally consistent) yang berarti hipotesis konsisten secara internal, dan kesimpulan (yang mendukung ataupun menolak hipotesis) didasarkan pada observasi dan bersifat logis. 

Satu hal yang juga perlu diperhatikan adalah sikap ilmiah. Metode ilmiah hanya akan menjadi efektif jika diterapkan dengan sikap yang tepat. Agar dapat menghasilkan hipotesis yang tepat, peneliti perlu sikap kritis terhadap penelitiannya sendiri dan juga terhadap penelitian orang lain.  Hal ini berarti seorang peneliti harus bersikap terbuka untuk menerima kritik jika orang lain menawarkan penjelasan yang lebih baik. Dengan sikap ilmiah tersebut, maka ilmu pengetahun ilmuah dapat berperan sebagai suatu sistem yang evolusioner, dimana hanya hipotesis yang ilmiah yang dapat bertahan. 



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mie Instan

Pesan Inspiratif dari Tiga Film Favorit

PERBANDINGAN ANATOMI DAUN TANAMAN C3 DAN C4