Pura-Pura Bahagia Tak Perlu Banyak Energi


Source: Sutterstock.com



Sebagai mahasiswa muslim yang hidup di tengah-tengah masyarakat non-muslim Negeri Gajah Putih,  berbagai pertanyaan unik seringkali menjadi kejutan saat berkumpul dengan teman sejawat. Misalnya, saat makan siang di kantin, beberapa pertanyaan itu akan muncul satu per satu, 

"Kenapa babi haram bagi muslim?"

"Kenapa muslim harus shalat lima kali sehari?"

"Kenapa wanita muslim harus berjilbab?"

Menjawab pertanyaan mereka memang tidak menyusahkan. Hanya, aneh saja rasanya  menjawab deretan pertanyaan yang kita anggap sederhana.

Di antara semua pertanyaan unik yang saya temui, hanya sekali saya menerima pertanyaan tentang bahagia. Ya, hanya sekali, untuk hal yang menurut saya lebih esensial, namun seringkali diabaikan. Mungkinkah karena kita terlalu sibuk berpura-pura bahagia, hingga lupa melihat sekeliling dan bertanya dengan lebih teliti, "Masihkah kita berbahagia?"

Nah, di tulisan kali ini, saya ingin bercerita tentang bagaimana saya pernah berpura-pura bahagia tanpa perlu mengeluarkan banyak energi.



***


Malam itu, saya sedang menatap layar komputer, berkutat dengan data-data hasil penelitian. Jam analog di sudut kanan layar komputer menunjukkan pukul 22:58 saat sebuah pesan masuk di akun Facebook, 

“Are you still happy?” 

Pertanyaan itu hampir saja meluruhkan bendungan di balik kelenjar air mata. Saya menarik napas dalam-dalam, bersandar ke kursi, dan mencoba memikirkan jawaban untuk pertanyaan itu. 

Entah masih berbahagia atau tidak, yang pasti, semangat tidak lagi cukup untuk menyusun sekian banyak data penelitian. Rutinitas penelitian terasa semakin sulit dan membosankan, namun perjuangan harus tetap berlanjut, terutama untuk mengumpulkan sisa-sisa semangat dan melawan keinginan untuk segera pulang.

Ingin rasanya membalas pesan itu dengan deretan panjang keluh kesah. Namun, jemari hanya mengirim emoticon senyum dengan jawaban singkat,

“Sure, I’m still happy.”



Source: Shutterctock.com




***


Melanjutkan studi di tempat yang jauh dari keluarga, tidak melulu seindah yang orang-orang pikirkan. Momen bahagia yang ditunjukkan di media sosial, boleh jadi hanya karena enggan menunjukkan keluh kesah.  Salah satunya, karena berkeluh kesah menurut saya kurang sopan. Di tengah-tengah kerinduan untuk segera pulang, harus tetap berjuang menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang berjejal dan berkutat dengan deretan tugas di depan komputer selama berhari-hari. 

Sebagai mahasiswa rantau, saya pernah mengalami hal yang sama. Rasa bosan, lelah, kecewa dan terabaikan muncul hampir bersamaan di semester akhir masa studi. Nyaris membuat saya menyerah.

Anehnya, di masa-masa perjuangan melawan kesulitan dan kesedihan, beberapa teman justru menilai saya selalu terlihat bahagia. Pak Prabu misalnya, seorang promovendus asal India, suatu siang menyapa dengan pernyataan yang menurut saya aneh 

“You always looks happy anytime I meet you. Always the same expression.” 

Katanya, saya selalu terlihat bahagia, selalu dengan ekspresi yang sama. Mendengar pernyataan itu, seorang teman lain membenarkan, “Yes, She is!” 

Saya hanya tertawa sambil menutup wajah karena malu. “Not really!” Jawabku singkat karena tak tahu harus berkata apa lagi.


***


Setelah mendengar komentar Pak Prabu siang itu, saya baru menyadari tentang ekspresi wajah yang selalu sama saat bertemu dengan teman-teman yang cukup dekat. Seringkali, saya bahkan tak mengucapkan apa-apa, hanya menyapa dengan senyum lebar, raut ekspresif, dan lambaian tangan. Terlihat bahagia karena menyapa dengan senyum boleh dibilang wajar, karena senyum memang merupakan respon alami tubuh saat kita merasa bahagia.

Kebiasaan tersenyum tidak hanya memberi kesan bahagia saat menyapa, tetapi juga saat saya sedang benar-benar merasa sedih. Beberapa kali, teman sekamar di asrama menangkap ekspresi wajah bahagia justru di saat saya berjuang melawan rasa sedih. 

“Someone looks so happy!” 

Begitu komentar Mit setiap kali menangkap ekspresi bahagia di wajah saya. Mit menyangka saya berbahagia karena melihat saya sedang tersenyum lebar. Sayangnya, tebakan Mit tidak selalu benar. Seringkali, saya hanya sedang berusaha berbahagia.



***


Sore itu, Saya meringkuk di atas ranjang sambil memejamkan mata. Kedua tangan dan kaki memeluk guling, dengan menghadapkan tubuh ke arah kanan. Terdengar suara gaduh dan langkah kaki Mit, mahasiswa Vietnam yang juga menghuni kamar 15419. Tercium aroma therapy dari arah meja belajarnya, sama seperti aroma wewangian Bali yang dibeli Ibu dua belas tahun lalu. Partikel wangi yang menyentuh saraf pembau di hidung, tiba-tiba berubah menjadi partikel rindu dan bertumpuk di paru-paru. Saya rindu pulang.  

Meskipun terlihat seperti orang yang tertidur pulas dengan mata tertutup, tentu saja saya tidak sedang berusaha tidur. Saya sebenarnya sedang mengumpulkan sisa-sisa semangat untuk menyelesaikan bab empat dan bab lima tesis. Rasanya sudah sangat lelah, seperti kehabisan energi sebelum sampai di garis akhir. Segala rutinitas penyelesaian tesis terasa begitu membosankan hingga ingin menyerah saja dan segera pulang ke rumah. Tapi, pulang adalah hal yang mustahil jika tesis belum terselesaikan. Mana mungkin ada mahasiswa yang berani menyerah, lalu pulang tanpa membawa ijazah?

Masih sambil memejamkan mata, saya membalikkan badan 180 derajat ke arah kiri, seperti orang yang mengganti posisi tidur. Sibuk menyimak tawar menawar antara hati dan otak, harus menyerah atau tetap berjuang hingga akhir? Hati memohon agar menyerah saja, namun akal sehat selalu menolak. Otak lalu berputar cepat, mencari-cari cara agar bisa tetap bertahan.

Saat bertahan dalam posisi pura-pura tidur, tiba-tiba teringat penjelasan Amy Cud, seorang psikiater yang mengkaji expresi non-verbal, tentang kemampuan tubuh untuk merekayasa pikiran. Menurut psikiater berambut pirang itu, bukan hanya pikiran yang dapat mempengaruhi bahasa tubuh, tetapi tubuh juga dapat mempengaruhi pikiran. Salah satu contoh paling sederhana adalah senyum. 

Senyum adalah ekspresi tubuh alami saat seseorang merasa bahagia. Jika seseorang merasa bahagia, tubuhnya akan merespon dengan tersenyum. Uniknya, seseorang yang menggerakkan otot wajahnya menyerupai orang tersenyum, misalnya dengan menarik kedua sudut bibirnya hingga semakin lebar, juga dapat merasa bahagia. Pesannya, tirulah ekspresi orang yang berbahagia hingga merasa benar-benar bahagia. Fake it till you make it!

Masih dengan mata tertutup, saya membalikkan badan mengarah tepat ke langit-langit kamar, menghirup napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Kedua tangan saya bergerak ke arah kepala membentuk huruf V, meniru bahasa tubuh seseorang yang baru saja memenangkan pertandingan, atau mungkin lebih mirip geliat anak kecil saat terbangun di pagi hari. Saya lalu meniru ekspresi wajah orang yang sedang tersenyum, mengontraksikan otot zigomaticus mayor yang meninggikan pipi dan juga otot orbicularis oris yang melebarkan bibir.

Saya mempertahankan ekspresi senyum tiruan itu beberapa saat. Dalam hati, saya mulai merasa lucu dan konyol karena memaksakan ekspresi senyum saat hati sedang berkeluh kesah. Meski dengan tingkah yang absurd, pikiran positif mulai muncul dari dalam otak. Teringat pesan seorang senior di bangku sekolah dulu, “Umpamakan tinta sebagai masalah, dan gelas sebagai pola pikirmu. Jika kamu hanyalah segelas air, maka setitik tinta akan dengan mudah menghitamkanmu. Tetapi, jika kamu adalah sebuah kolam yang luas, maka setitik tinta tak ada ada apa-apanya.” Benar juga kata-katanya. Masalah itu hanya tentang persepsi. Tak ada masalah yang benar-benar berat, tergantung bagaimana kita menilai masalah itu.

Berbagai pikiran positif mulai menyeruak dari dalam otak, saat Mit tiba-tiba berteriak dari arah kanan ruangan, “Cit, what are you doing? Smiling while sleeping?” 

Mit ternyata memperhatikan tingkah konyol saya saat itu. Segera bangkit dari tempat tidur, saya memamerkan senyum lebar, “Hehehe. No, I’m not sleeping.”

“Happy? Hmm?” Mit mencoba mencari tahu.

Saya hanya memamerkan senyum lebar seraya bergegas ke kamar kecil. Bingung harus menjelaskan apa.



Source: istock.com



***


Sedih adalah hal yang manusiawi, semua orang pasti pernah mengalaminya.  Tetapi, setiap orang punya cara unik mereka sendiri untuk bangkit dari kesedihan. Seperti beberapa orang junior yang sempat saya temui, mereka memiliki cara unik masing-masing untuk mengatasi kesedihan.

“Saking sedihnya, saya mencuci piring, mencuci baju, hingga mengepel lantai tengah malam, jam dua belas. Saya juga suka nonton video-video lucu di Instagram. Satu lagi, makan.” Begitu kata Tirta Linda yang mengaku harus mencari kegiatan demi melupakan kesedihannya karena suatu masalah di kampus. Menonton video lucu di sosial media dan makan makanan kesukaan, ternyata menjadi cara jitu baginya dalam mengatasi kesedihan.  

Berbeda dengan Tirta Linda, Kyrst Lyra memilih pendekatan spiritual untuk mengatasi kesedihannya, “Kalau sedih, saya biasanya berdoa dan menyanyi lagu rohani.”  

Dean juga tak ketinggalan membagi rahasianya, “Saya berdoa dan berusaha membantu orang lain yang membutuhkan. Saat bisa membantu orang lain, saya jadi sadar banyak yang memiliki masalah lebih besar dari yang saya hadapi.”  

“Masih ada cara lain kak, menertawakan masalah, atau mencari orang yang bisa ditertawakan.” Tirta Linda kembali mengungkap cara unik yang pernah dilakukannya untuk mengobati kesedihan.

Mendengar semua penjelasan teman-temannya dalam mengatasi kesedihan, Agil Saputra, memberi pandangannya tentang persepsi bahagia. 

“Bahagia itu subjektif, karena kita yang merasakan dan kita yang menilai, bukan orang lain. Jadi, wajar jika kebahagian orang itu berbeda-beda.” Penjelasan Agil ini memang benar. Bahagia itu kita sendiri yang rasa, bukan orang lain. Namun, kesimpulan itu nampaknya berasal dari sudut pandang sosiologis.

Jika kita menggunakan sudut pandang neurofisiologis, maka bahagia itu dapat dipandang sebagai persepsi otak berkat peningkatan neurotransmitter dopamin di dalam otak. Neurotransmitter adalah senyawa yang berfungsi untuk menghantarkan sinyal pesan dari satu sel saraf ke sel saraf lainnya.  Manusia memiliki berbagai jenis neurotransmitter, masing-masing jenis neurotransmitter berperan dalam membawa pesan yang berbeda. Sebagai salah satu jenis neurotransmitter, dopamin berperan dalam membawa pesan bahagia. Kalau saja kurir pos kilat diberi tugas mengantarkan jenis paket yang berbeda, dopamin ini adalah kurir yang khusus mengantarkan surat bahagia, surat cinta misalnya.

Keterkaitan antara neurotransmiter dopamin dan emosi positif dijelaskan oleh Ashby et al. (1999), bahwa emosi positif dapat diasosiasikan dengan peningkatan jumlah dopamin di otak. Emosi positif inilah yang biasa kita sebut dengan persepsi bahagia.

Saat kita melakukan hal-hal yang kita senangi, misalnya melakukan hobi atau makan makanan kesukaan, otak kita menghasilkan dopamin, yang akhirnya menciptakan persepsi bahagia. Uniknya, tubuh kita memiliki kemampuan untuk mengingat persepsi bahagia tersebut sebagai reward positif. Tubuh akan merekam berbagai kegiatan yang dapat berujung pada perasaan bahagia. Itulah sebabnya, kita cenderung melakukan kembali hal-hal yang kita sukai saat dilanda rasa sedih. Sebenarnya, kita hanya mencari-cari cara agar tubuh kita menghasilkan lebih banyak dopamin.

Ada satu kalimat tentang bahagia yang cukup populer di kalangan pemuda saat ini, "Makan yang banyak, pura-pura bahagia butuh banyak energi." Terhipnotis oleh kalimat ini, saya pernah berpikir bahwa pura-pura bahagia butuh banyak energi. Namun, setelah menyimak penjelasan Amy Cud tentang bagaimana merekayasa bahagia dengan senyuman,  saya akhirnya paham bahwa pura-pura bahagia tak butuh banyak energi, cukup dengan tersenyum. Saya menjadi terbiasa merekayasa senyum, hingga benar-benar tersenyum. Saya berpura-pura bahagia hingga benar-benar merasa bahagia. I fake it till i make it!

Bagaimana keterkaitan antara senyum dan persepsi bahagia? Senyum adalah respon alami tubuh saat merasa bahagia. Saat kita merasa bahagia (misalnya karena melakukan kegiatan yang kita senangi), produksi dopamin di otak meningkat, dan salah satu respon tubuh adalah tersenyum. Uniknya, hal sebaliknya juga dapat terjadi. Saat merekayasa senyum, produksi dopamin di otak menjadi lebih tinggi, dan kita pun dapat merasakan emosi positif.

Berbahagia itu seperti bersepeda, dengan putaran pedal sebagai produksi dopamin dan putaran roda sebagai senyuman. Saat kita mengayuh pedal, roda berputar, dan sepeda pun melaju.  Namun, saat kita menggerakkan roda sepeda dengan mendorong, pedal pun ikut berputar, dan sepeda juga dapat bergerak. Berbahagia itu seperti bersepeda, beberapa kali kita harus menapakkan kaki ke tanah untuk mendorong atau sekedar menahan agar tidak terjatuh, hingga kita dapat melaju dengan kencang.


Literatur:
  1. Amy Cud: Your Body Language Shapes Who You Are.
  2. Dfarhud, D., Malmir, M., & Khanahmadi, M. (2014). Happiness & Health: The Biological Factors- Systematic Review Article. Iranian Journal of Public Health, 43 (11): 1468-147.
  3. Ashby F. G., Isen, A.M., & Turken, A.U. (1999). A Neuropsychological Theory of Positive Affect and Its Influence on Cognition. Psychol Rev, 106: 529–550. 
  4. Bethany Brooshire. (2017). Explainer: What is Dopamine? https://www.sciencenewsforstudents.org/article/explainer-what-dopamine 

*Tulisan ini adalah versi terbaru dari tulisan lama yang dibuat untuk tugas akhir Kelas Menulis Kepo Angkatan IV. Diupload pertama kali pada 27 April 2017.


Komentar

  1. "Saya rindu pulang."

    Kalimat yg benar-benar mewakili perasaan saya saat ini kak cit. Ditambah bulan suci ramadhan sudah didepan mata.

    Selain itu:
    "Berbahagia itu seperti bersepeda, beberapa kali kita harus menapakkan kaki ke tanah untuk mendorong atau sekedar menahan agar tidak terjatuh, hingga kita dapat melaju dengan kencang"

    Ini seperti mantra bagi saya bahwa jika sedang mengerjakan sesuatu, dont stop just take a rest, and then go on (again) until you make it.

    Terima kasih kak cit.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dear meyti, terima kasih kembali.. tetap semangaaat

      Hapus
  2. Terima kasih kak cit untuk menyadarkan saya, bahwa kita tdk boleh kalah dengan prasaan prasaan negative yg mnyurutkan semangat...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kembali ul.. semangat penyelesaian studinyaaa yaa

      Hapus
  3. I love this quote

    "Berbahagia itu seperti bersepeda, beberapa kali kita harus menapakkan kaki ke tanah untuk mendorong atau sekedar menahan agar tidak terjatuh, hingga kita dapat melaju dengan kencang."

    Untuk bahagia ternyata tak perlu berlebihan. Cukup bertahan pada suatu suasana dan mengontrolnya agar pas dengan hati.😊☺πŸ‘πŸ‘Œ

    BalasHapus
  4. Kak, apa dalam tubuh dapat mengalami kelebiahan hormon dopamine? Jika berlebihan apa kita akan mengalami bahagia terus menerus dong?bagaimana dengan orang psikopat yang selalu bahagia saat orang menderita? Mereka melakukan tindakan keji dengan sadis untuk merasakan kebahagiaan. Apa mungkin itu termasuk cara orang untuk mendapatkan kebahagiaan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai hai anriani, pertanyaannya banyaak yaa hehe

      1. Apakah tubuh dapat kelebihan hormon dopamin? Jawabannya, Iya. Konsep kelebihan ini adalah jika konsentrasi dopamin sudah diatas konsentrasi normal. Konsepnya sama seperti peningkatan kadar glukosa darah di atas normal karena banyak makan karbohidrat atau gula sederhana.

      2. Jika berlebihan apa bahagia terus? Dopamin yang tinggi bisa menyebabkan berbagai kemungkinan, menurut literatur begini: "two people could have equally high levels of dopamine, but entirely different symptoms may result."

      Efek dopamin tinggi itu bisa beragam pada orang yang berbeda, misalnya: halusinasi, hiperaktif, insomnia (lebih lengkap disini ya: https://mentalhealthdaily.com/2015/04/01/high-dopamine-levels-symptoms-adverse-reactions/)

      Konsepnya: segala yang berlebih-lebihan itu tidak baik ;)

      3. Soal psikopat, itu ada kaitannya dengan abnormality dopamine reward mechanism. intinya, karena respon produksi dopaminnya yang berlebihan saat memperoleh reward.

      Hapus
  5. Saya tertarik dengan pembenaran bahwa bahagia itu subjektif dan korelasi.y dengan persepsi bahagia yang dihasilkan ketika hormon dopamin meningkat.

    Jadi dopamin itu ceritanya peka dalam menilai hal-hal subjektif yang membahagiakan tiap-tiap orang kemudian menghasilkan persepsi bahagia ? Bagaimana dopamin tau bahwa dia harus tereskresi ketika hal menyenangkan tersebut dinilai menurut pandangan subjektif si individu ?

    Mungkin agak rancu ketika mengaitkan antara pandangan sosiologis dengan pandangan neurofisiologis. Tapi saya penasaran dengan hal tersebut, sekiranya ada penjelasan.y hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. hai hai Fitrah..

      Jadi, bukan dopaminnya yang menilai hal-hal subjektif yaa...

      Ceritanya begini, dari semua hal yang bisa kita lakukan, ada beberapa hal yang jika dilakukan dapat menyebabkan produksi dopamin di otak meningkat.

      Nah, peningkatan produksi dopamin ini, salah satunya dapat menyebabkan "good feeling".

      Nah, karena efeknya positif, tubuh dapat mengingatnya, sehingga kita cenderung akan melakukan kembali hal tadi.


      Hapus
  6. Cukup tersenyum akan membuat kita bahagia sehingga kandungan dopamin akan bertambah, karena bahagia itu sederhana... Never give up until u make it 😊

    makasih atas info yg sangat bermanfaat ini kak

    BalasHapus
  7. Marhaban ya ramadhan. Ramadhan esok akan tiba. Tetap tersenyum karena senyum adalah ibadah dan saat ramadhan semua amal ibadah di dilipat gandakan pahalanya. Tetap tersenyum untuk mendatangkan bahagia jangan menunggu bahagia untuk tersenyum meski terasa berat.

    BalasHapus
  8. Fitrah Amalia Salim16 Mei 2018 pukul 18.45

    i feel you kak, esp in this ramadhan where you should be surrounded by ur family but here i am stuck with tasks and coming soon final.

    'you always look so happy'
    'you live like you have no matter in your life'
    sometimes people claimed us happy because we laugh everytime, telling them joke and act like we had no problem. but honestly, thats totally wrong. we do cry, sometimes. but we decided not to show in public.

    dulu salah satu teman saya bertanya 'how to move on? how to be happy again?' all i answer is 'its all in your mindset. kalau terus di pikir malah akan menyiksa terus'

    in my opinion sama seperti yg diatas, all we have to do is just stop thinking stuff that makes you sad. and start doing positive though or doing your hobby such as eating you favorite snack ehe

    anyway. its such an interesting topic kak. keep the good work :)

    BalasHapus
  9. Assalamualaikum

    Salam kenal dek Citra (ini benarkah saya panggil adik? Melihat profilnya, saya yakin pasti saya lebih tua bahkan jauuuh lebih tua) hehehe...

    Bahagia. Kata ini seakan sangat mahal apabila perasaan kita sedang bermasalah. Entah itu karena lagi bersedih atau lagi pusing karena berbagai masalah yang belum terselesaikan.
    Namun itu adalah pilihan.

    Seperti yang Citra tuliskan, kita bisa berpura-pura bahagia lalu menghadirkannya lewat senyuman, sehingga bahagia itu bisa benar-benar hadir. Jika setiap saat kita memotivasi diri unutk bahagia, maka saya setuju bahwa bahagia bisa dihadirkan bukan lagi sebagai kepura-puraan.


    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikumsalam. Terima kasih sudah berkunjung bunda ^^

      Hapus
  10. Di paragraf terakhir menjelaskan tentang sepeda, sy jd teringat quotes ttg sepeda, “life is like a bicycle, if you want to keep balance you have to keep moving”

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mie Instan

PERBANDINGAN ANATOMI DAUN TANAMAN C3 DAN C4

Pesan Inspiratif dari Tiga Film Favorit