Masalah Terberat Dalam Hidup
Saya diam sejenak, mencoba berpikir.
"Semua orang pasti pernah mengalami masalah berat. Dari sekian puluh tahun masa hidupnya, dari semua hal yang pernah terjadi, pasti ada satu hal yang paling berat menurut dia. Ya, meskipun belum tentu hal itu berat buat orang lain, kan?"
"Iya, betul." Kak nunu mengangguk setuju.
"Jadi, tentu ada hal yang menurut saya paling berat." Saya tersenyum.
"Tapi, kalau Citra ga mau cerita gapapa."
"Oh, saya bisa cerita kok, Kak."
"Ini boleh saya tulis juga? Atau kalau ga mau ditulis juga ga apa-apa."
"Saya juga ikhlas ji Kak, kalau kak mau tulis" Saya berbisik ke Kak Evhy yang sejak tadi menyimak percakapan.
Berawal dari percakapan itu, saya terpikir untuk kembali bercerita. Kali ini, cerita tentang sulitnya hidup.
***
Kita selalu sepakat dengan persepsi bahwa hidup itu sulit. Benar, hidup memang sulit. Saya setuju. Anda juga tentu setuju. Pertanyaannya, bagaimana bisa kita menyepakati bahwa hidup itu sulit?
Saat kita membaca tulisan "Hidup ini sulit," dalam hati kita mengiyakan, hidup memang tidak seindah drama Korea.
Saat seorang teman berkomentar "Hidup benar-benar sulit," kita tidak memberi komentar sebaliknya "Tidak, hidup ini mudah, kok!"
Sebenarnya, tidak ada yang benar-benar sepakat dengan kalimat itu. Kenapa? Karena, semua hanya menyepakati hal yang berbeda. Kita seakan-akan menyepakati kata "sulit" itu, namun sebenarnya merujuk pada berbagai hal atau kejadian berbeda. Ini seperti tumpukan buku pelajaran berbeda yang diberi bungkus berwarna putih, lalu disusun rapih di atas meja belajar. Sebelum membuka buku-buku itu, orang lain mungkin tidak akan tahu bahwa deretan buku itu sebenarnya adalah buku-buku mata pelajaran yang berbeda, yang tentu saja isinya berbeda.
Saat kita membaca tulisan "Hidup ini sulit," dalam hati kita mengiyakan, hidup memang tidak seindah drama Korea.
Saat seorang teman berkomentar "Hidup benar-benar sulit," kita tidak memberi komentar sebaliknya "Tidak, hidup ini mudah, kok!"
Sebenarnya, tidak ada yang benar-benar sepakat dengan kalimat itu. Kenapa? Karena, semua hanya menyepakati hal yang berbeda. Kita seakan-akan menyepakati kata "sulit" itu, namun sebenarnya merujuk pada berbagai hal atau kejadian berbeda. Ini seperti tumpukan buku pelajaran berbeda yang diberi bungkus berwarna putih, lalu disusun rapih di atas meja belajar. Sebelum membuka buku-buku itu, orang lain mungkin tidak akan tahu bahwa deretan buku itu sebenarnya adalah buku-buku mata pelajaran yang berbeda, yang tentu saja isinya berbeda.
Sekarang, pertanyaannya adalah, kejadian-kejadian apa yang dianggap sulit oleh kebanyakan orang?
Beberapa waktu lalu, saya bertanya kepada beberapa orang tentang masa-masa paling sulit yang pernah mereka hadapi. Dari semua cerita itu, tentu semuanya berbeda. Yuk, kepoin masa-masa yang diberi label "sulit" oleh beberapa orang tadi.
***
"Masa paling sulit buat saya adalah ketika menghilangkan salah satu barang. Dan, barang itu berharga untuk orang tua." Dia bercerita sambil menunduk.
Orang pertama, adalah seorang gadis berkulit sawo matang yang sedang dalam proses penyelesaian tugas akhir. Tidak seperti kebanyakan mahasiswa, masa-masa penyelesaian tugas akhir ternyata bukan masa tersulit buatnya.
"Bagaimana itu bisa menjadi hal paling sulit buat anda?"
"...." Tidak ada jawaban. Dia tetap menunduk. Kali ini, sambil menyeka air mata.
***
Orang kedua, adalah pria berkulit lebih cerah dan juga lebih tinggi dari orang pertama tadi. Pria ini baru saja menyelesaikan studi pascasarjana di salah satu universitas ternama di Indonesia. Rambutnya sedikit ikal dan kacamatanya terlihat tebal.
"Masa paling sulit itu masa-masa perjuangan mendaftar beasiswa."
"Bagaimana bisa?"
"Untuk beasiswa itu, saya butuh nilai IELTS. Sudah tes dua kali dan nilainya belum cukup. Jadinya, harus tes lagi, padahal belum ada uang."
"Jadi, akhirnya bagaimana?" Saya penasaran.
"Saya kerja, dan ikut tes lagi. Akhirnya nilainya cukup untuk dapat beasiswa itu."
"Alhamdulillah"
"Saya akhirnya lolos beasiswa luar negeri. Tapi, karena pertimbangan keluarga, saya pindah ke jalur dalam negeri."
***
Source: https://goo.gl/images/6RM1NN |
Orang ketiga, adalah seorang mahasiswi yang masih duduk di bangku kuliah semester lima. Saat saya bertanya tentang masa-masa sulit dalam hidupnya, dia bercerita tentang perjuangannya di masa SMP.
"Masa paling sulit itu masa SMP, kak. Hampir setiap hari saya terlambat. Jam 9 baru tiba di sekolah." Saya tidak habis pikir, bagaimana bisa anak SMP punya kebiasaan terlambat seperti itu.
"Jam 9? Bagaimana ceritanya?"
"Saya jalan ke sekolah, karena tidak ada yang antar, Kak"
"Berangkatnya jam berapa? Dulu, saya juga jalan ke sekolah, tapi tidak sampai terlambat"
"Biasanya saya berangkat jam 6 pagi."
"Itu cukup pagi, tapi kenapa bisa terlambat?"
"Karena sekolahnya jauh, Kak. Jalan ke sekolah itu menelusuri dua sisi sungai. Misalnya, saya menyusuri sisi kiri sungai searah matahari terbit, lalu menyebrang ke sisi kanan lewat jembatan layang. Nah, di sisi kanan sungai itu, saya harus jalan lagi dengan jarak yang sama tapi dengan arah berlawanan, ke arah matahari tenggelam."
"Ohaha, jadi itu jalan bolak-balik ya, seperti jalan dari jipang raya ke parangtambung, lalu balik arah lagi dari parangtambung ke jipang raya?"
"Nah, iya kak. Dan, saya jalan sendiri, sementara teman-teman lain sudah naik motor. Itu psikologisnya beda, kak."
***
Dari cerita tiga orang tadi, kita bisa melihat bagaimana label "sulit" diberikan pada berbagai kejadian yang berbeda yang mereka alami. Pernahkah anda menghilangkan barang miliki orang tua? Apakah buat anda itu masa tersulit? Pernahkah berjuang memperoleh beasiswa? Apakah buat anda itu masa tersulit? Pernahkah harus berjalan jauh dari rumah ke sekolah? Apakah masa itu terasa sulit?
Setiap orang punya ukuran yang berbeda untuk menilai tingkat kesulitan suatu masalah. Sama seperti ayam goreng Recheese Factory. Buat saya, level satu itu pedasnya sudah menyiksa. Tapi, buat seorang senior, level satu itu tidak ada apa-apanya.
Perkembangan kemampuan seseorang dalam menyikapi masalah-masalah dalam hidupnya, menurut saya, analog dengan toleransi terhadap makanan pedas. Orang-orang yang bisa bertahan dengan ayam pedas level empat, adalah mereka yang sudah terbiasa dengan makanan dengan level pedas yang lebih rendah. Orang-orang ini, jika diberi ayam level satu, apalagi level nol, banyak yang menolak. Kenapa? Katanya, terlalu datar, tidak ada tantangannya. Bagaimana dengan saya yang hanya bisa bertahan dengan level satu? Saya pikir itu sudah bisa dianggap prestasi. Pasalnya, masa SMP dulu, cabe indomie saja sudah cukup menyiksa buat saya.
Ada kesamaan antara orang-orang yang sudah terbiasa makan makanan pedas, dengan orang-orang yang terbiasa menghadapi kesulitan dalam hidup. Bagaimana persamaannya? Mereka sama-sama punya referensi yang lebih luas tentang tingkatan kepedasan atau tingkatan kesulitan masalah. Mereka tentu juga punya ketahanan yang lebih tinggi menahan pedas atau kesulitan.
Tapi, orang-orang yang tidak tahan pedas bukan berarti tidak pernah menghadapi kesulitan hidup. Saya misalnya, tidak tahan pedas, tapi pernah juga melewati satu masa sulit. Bagaimana masa sulit versi saya? Saya belum bisa menuliskan di sini. Tunggu saja cerita dari Kak Nunu (di sini), mungkin akan diceritakan di salah satu bagian tulisannya.
Masa-masa yang dianggap sulit dalam hidup, adalah masa-masa yang harus disyukuri. Kenapa? Karena, justru dari masa itulah kita belajar banyak hal-hal baik, seperti persistensi, keikhlasan, dan kesabaran. Hal-hal baik ini, mungkin akan sulit dimiliki jika hidup dalam dunia yang serba mudah.
Komentar
Posting Komentar