Berjalan dengan Sepatu Orang Lain
Source: Whereismycoach |
Hari itu adalah hari perayaan wisuda di
salah satu universitas di Thailand. Matahari bersinar cukup terik, dan
angin yang bertiup terasa hangat di kulit. Terlihat orang-orang tetap ramai
berlalu lalang memenuhi hampir setiap sudut kampus. Jalan-jalan pun dipadati
oleh deretan kendaraan yang bergerak lambat.
Saya menyandarkan badan ke pintu mobil
yang jendelanya setengah terbuka. Tercium aroma kering dedaunan yang tertiup
udara hangat dari luar jendela. Tak ada pemandangan yang menarik saat itu,
selain barisan mahasiswa dengan seragam hitam putih yang berjalan menyusuri
trotoar di depan Fakultas Ilmu Sosial.
Di Negeri Gajah Putih ini, mahasiswa S1
memang masih berseragam. Berbeda dengan mahasiswa di Indonesia yang sudah boleh
berpakaian bebas rapih. Seragam mahasiswa di sini bertema hitam putih, dengan
kemeja putih dan rok span hitam. Selain untuk kuliah, seragam ini juga
digunakan untuk prosesi wisuda. Tentu saja harus dilengkapi dengan jubah wisuda
masing-masing.
Di hari-hari biasa, jika bertemu dengan rombongan mahasiswa berseragam di bus, saya biasanya memperhatikan pin di kerah baju mereka. Pin mereka unik. Dipasang di kerah baju, lalu ada identitas fakultas yang menjuntai sepanjang kurang lebih lima centimeter. Sebagai identitas, pin itu berbeda-beda di setiap fakultas.
Beberapa rombongan mahasiswa berjalan melewati mobil kami yang berjalan nyaris seperti siput. Saya memperhatikan mereka melewati kami, satu per satu. Tentu saja tidak bisa memperhatikan pin yang mereka kenakan, hanya memperhatikan bagaimana mereka tetap berjalan dengan rapih di sisi kiri jalan.
Setelah beberapa saat, terlihat dua orang mahasiswa yang berjalan terpisah dari rombongannya, sambil memegang sepasang sepatu pantofel hitam. Dua orang itu berjalan di atas trotoar tanpa alas kaki di siang hari yang terik.
“Liatin apa, Cit?” Seorang teman ternyata
memperhatikan senyum tipis yang sudah berusaha disembunyikan.
“Hehehe.. Itu Kak, mereka jalan di
trotoar, sepatunya dilepas, padahal kan panas.” Saya belum melepaskan pandangan
dari dua orang tadi.
“Hahaha.. Iya ya. Padahal panas”
Percakapan tentang dua orang itu tidak
berlanjut. Tapi, pikiran saya masih tertuju pada mereka. Bagaimana bisa mereka
sanggup bertelanjang kaki di siang hari seterik itu? Rasanya pasti panas. Saya
yakin. Lagipula, tindakan itu terlihat tidak aman. Bagaimana kalau ada duri
yang tanpa sengaja mereka injak? Atau, bagaimana kalau ada pecahan kaca? Atau
mungkin paku berkarat? Oke, ini mulai terkesan horor. Memikirkannya saja sudah
membuat merinding.
***
Sumber: levante-emv.com |
Apa yang teman-teman pikirkan
jika melihat seseorang bertelanjang kaki di siang hari yang terik dengan
memengang sepasang sepatu? Pemandangan yang aneh, bukan? Bagaimana
mungkin mereka rela melepas sepatu menelusuri trotoar panas dan berkerikil? Sulit
untuk mengerti pilihan semacam ini, sampai suatu hari saya memilih
melakukan hal yang sama.
***
Siang itu, saya pulang
dari suatu fakultas dengan bus. Seperti biasa, dari stasiun bus yang jaraknya
tidak jauh dari asrama, saya berjalan kaki. Perjalanan dari stasiun bus ke
asrama, di siang hari seperti itu, adalah perjalanan yang nyaris tidak pernah
sepi. Puluhan mahasiswa berseragam hitam-putih keluar dari beberapa bus lain.
Di persimpangan jalan, mereka berbelok ke arah kanan menuju kantin. Ada pula
yang berbelok ke arah kiri, menuju ke asrama, termasuk saya yang tenggelam di
antara rombongan hitam putih itu.
Berjalan kaki dalam
jarak sejauh seratus meter menuju asrama biasanya bukanlah masalah. Hanya saja,
hari itu, jarak seratus meter terasa sejauh satu kilo meter. Pasalnya, ada
goresan luka di bagian atas tumit, yang entah bagaimana muncul begitu saja. Oh,
ya, mungkin karena sepatu itu masih baru, sudut bagian atas tumitnya masih
ketat. Setiap melangkahkan kaki, ada gesekan di bagian pergelangan kaki yang
rasanya seperti disayat pisau dapur.
Jalan dari pintu masuk
asrama menuju gedung nomor 15 masih sekitar lima puluh meter. Bagaimana
mungkin saya terus melangkah dengan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi.
Tiba-tiba, muncul memori
tentang dua orang yang berjalan di trotoar tanpa alas kaki. Seketika, ada niat
untuk membuka sepatu juga. Tapi, bagaimana jika ada duri di jalan itu? Atau,
bagaimana jika ada yang memperhatikan saya berjalan dengan memegang sepatu?
Bagaimana jika ada yang tertawa seperti dulu saya merasa lucu melihat orang
bertelanjang kaki dengan memegang sepatunya?
Beberapa pertanyaan itu
silih berganti bergema di dalam pikiran. Tapi, akhirnya saya memilih untuk
melepas sepatu. Memang, pilihan itu terlihat konyol, tapi siapa yang sanggup
menderita karena rasa sakit yang menyiksa setiap kali melangkahkan kaki? Lagi
pula, kerikil-kerikil di jalanan ternyata tidak seburuk yang terpikirkan
sebelumnya. Kerikil-kerikil itu, tidak lebih menyakitkan dari sayatan sudut
sepatu yang nyaris setajam pisau. Jalan siang itu memang terasa panas, tetapi
masih dalam batas yang bisa ditoleransi.
Sekarang, beberapa
mahasiswa yang berjawan dari arah berlawanan mulai memperhatikan. Saya tidak
peduli. Bukan mereka yang merasakan sakitnya luka karena sepatu ini.
***
Siang itu, dalam perjalanan yang tidak
biasa menuju asrama nomor 15, saya akhirnya paham tentang makna satu
kalimat bijak, “cobalah berjalan dengan memakai sepatu orang lain.”
Selalu ada hal-hal yang membuat orang lain
memilih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Hal-hal itu, mungkin
tidak akan kita pahami sepenuhnya, tanpa pernah mengalami pengalaman serupa,
tanpa mengetahui kondisi utuh dari apa yang sebenarnya terjadi.
Seperti saya di suatu siang perayaan
wisuda, tertawa karena tidak benar-benar paham kondisi yang membuat mereka
memilih bertelanjang kaki di siang hari yang terik.
Sejak saat itu, saya belajar untuk tidak
menertawakan kondisi yang ditampilkan di layar, tanpa mencoba memahami apa yang
telah terjadi di balik layar.
Wah mantap kak.ceritanya menarik.dan bisa menjadi pelajaran juga bagi banyak orang,klo kita tdkbisa menilai sesuatu hanya dari melihat saja tanpa mengetahui apa yg sebnrnya terjadi
BalasHapusWah mantap kak.ceritanya menarik.dan bisa menjadi pelajaran juga bagi banyak orang,klo kita tdkbisa menilai sesuatu hanya dari melihat saja tanpa mengetahui apa yg sebnrnya terjadi
BalasHapus