Ketakutan Terbesarku
"Citra, bikin teh buat tante, nak"
"Iye ummi"
Membuat teh sudah menjadi tugas saya sejak duduk di bangku sekolah dasar. Setiap kali ada keluarga yang berkunjung ke rumah, saya selalu kebagian tugas membuat teh. Membuat minuman ini memang tidak sulit. Hanya saja, saya seringkali mendapat pesanan yang cukup membingungkan.
"Tehnya jangan terlalu manis, Nak."
Pesanan teh jenis ini yang biasanya membuat saya kebingungan di dapur. Saya tidak tahu yang "terlalu manis" itu seperti apa. Satu sendok gula untuk segelas air teh menurut saya belum cukup manis. Tapi, ketika teh dengan sesendok gula tadi saya sajikan, biasanya muncul pesanan lanjutan, "Cit, coba tambah air nak." Menurut saya teh itu sudah tidak terlalu manis, namun ternyata masih cukup manis.
Masih ada tipe pesanan yang lebih membingungkan, "Cit, tehnya jangan terlalu pekat yah nak." Bagaimana pula menilai tingkat kepekatan teh? Saya bahkan belum mengenal rumus penentuan konsentrasi larutan saat itu.
Diantara semua jenis pesanan teh yang membuat saya memutar otak di dapur, ada satu jenis pesanan yang sangat mudah tetapi justru membuat tidak habis pikir. Beberapa kali, om dan tante memesan, "Tehnya jangan pakai gula yah, Nak." Teh tanpa gula? Apa enaknya ya?
***
Kebingungan saya melihat orang-orang dewasa lebih memilih teh tanpa gula berlangsung cukup lama. Setidaknya hingga saya membaca tentang akibat yang dapat terjadi jika kadar gula darah melebihi batas normal, utamanya pada penderita diabetes.
Sayangnya, pengetahuan itu tidak banyak berarti untuk saya. Pengetahuan saya hanya sepotong-sepotong. Saya pikir, hanya orang-orang dewasa yang perlu mengatur pola konsumsi gula. Saya tidak merasa perlu mengatur pola konsumsi gula. Faktanya, konsumsi gula berlebih juga berpengaruh buruk pada tubuh saya. Kelalaian membuat saya tidak menyadarinya.
Kelalaian itulah ketakutan terbesar saya. Mengapa? Karena kelalaian adalah akar ketidaktahuan, dan ketidaktahuan seringkali berujung pada hal-hal yang tidak menguntungkan. Ketidaktahuan tentang bagaimana gula berlebih dapat mengaktifkan kelenjar minyak di kulit, berujung pada Produksi sebum berlebih yang saya alami bertahun-tahun.
Bukankan menyedihkan saat kita melakukan hal yang menurut kacamata kita "baik-baik saja," namun nyatanya hal itu "bukan sesuatu yang baik." Seperti menghidangkan masakan Volvariella volvacea (Jamur merang, dapat dimakan) yang ternyata adalah Amanita phalloides (jamur beracun). Seperti berteman dengan protagonis yang ternyata antagonis.
#15harimenulis
"Iye ummi"
Membuat teh sudah menjadi tugas saya sejak duduk di bangku sekolah dasar. Setiap kali ada keluarga yang berkunjung ke rumah, saya selalu kebagian tugas membuat teh. Membuat minuman ini memang tidak sulit. Hanya saja, saya seringkali mendapat pesanan yang cukup membingungkan.
"Tehnya jangan terlalu manis, Nak."
Pesanan teh jenis ini yang biasanya membuat saya kebingungan di dapur. Saya tidak tahu yang "terlalu manis" itu seperti apa. Satu sendok gula untuk segelas air teh menurut saya belum cukup manis. Tapi, ketika teh dengan sesendok gula tadi saya sajikan, biasanya muncul pesanan lanjutan, "Cit, coba tambah air nak." Menurut saya teh itu sudah tidak terlalu manis, namun ternyata masih cukup manis.
Masih ada tipe pesanan yang lebih membingungkan, "Cit, tehnya jangan terlalu pekat yah nak." Bagaimana pula menilai tingkat kepekatan teh? Saya bahkan belum mengenal rumus penentuan konsentrasi larutan saat itu.
Diantara semua jenis pesanan teh yang membuat saya memutar otak di dapur, ada satu jenis pesanan yang sangat mudah tetapi justru membuat tidak habis pikir. Beberapa kali, om dan tante memesan, "Tehnya jangan pakai gula yah, Nak." Teh tanpa gula? Apa enaknya ya?
***
Kebingungan saya melihat orang-orang dewasa lebih memilih teh tanpa gula berlangsung cukup lama. Setidaknya hingga saya membaca tentang akibat yang dapat terjadi jika kadar gula darah melebihi batas normal, utamanya pada penderita diabetes.
Sayangnya, pengetahuan itu tidak banyak berarti untuk saya. Pengetahuan saya hanya sepotong-sepotong. Saya pikir, hanya orang-orang dewasa yang perlu mengatur pola konsumsi gula. Saya tidak merasa perlu mengatur pola konsumsi gula. Faktanya, konsumsi gula berlebih juga berpengaruh buruk pada tubuh saya. Kelalaian membuat saya tidak menyadarinya.
Kelalaian itulah ketakutan terbesar saya. Mengapa? Karena kelalaian adalah akar ketidaktahuan, dan ketidaktahuan seringkali berujung pada hal-hal yang tidak menguntungkan. Ketidaktahuan tentang bagaimana gula berlebih dapat mengaktifkan kelenjar minyak di kulit, berujung pada Produksi sebum berlebih yang saya alami bertahun-tahun.
Bukankan menyedihkan saat kita melakukan hal yang menurut kacamata kita "baik-baik saja," namun nyatanya hal itu "bukan sesuatu yang baik." Seperti menghidangkan masakan Volvariella volvacea (Jamur merang, dapat dimakan) yang ternyata adalah Amanita phalloides (jamur beracun). Seperti berteman dengan protagonis yang ternyata antagonis.
#15harimenulis
Tak bisa lagi menikmati sedapnya Pisang Epe karena glukosa yang aduhayyy manisnya...
BalasHapuskuingyn menangys....
Huhuhu :')
Hapus