Cinta Pertama
CINTA PERTAMA
Suatu sore, saya menjenguk tante
yang baru saja melahirkan seorang bayi perempuan. Sambil mengganti pakaian
bayinya, tante berusaha berkomunikasi seakan-akan bayi ini sudah paham apa yang
dikatakannya. Saya hanya membatin “Bayi kan belum bisa berkomunikasi, ditanya
papun tidak akan dijawab juga.” Saya tidak mengerti, mengapa orang dewasa mau
repot-repot berkomunikasi dengan anak kecil?
Kebingungan saya berlangsung
cukup lama, hingga suatu hari saya mendapati Enda, adik saya, sedang melakukan
hal yang sama – berkomunikasi dengan Difa, seakan-akan Difa mengerti apa yang
dikatakannya. Difa adalah ponakan saya, yang waktu itu masih berumur beberapa
bulan.
“Kamu bngobrol sama Difa?
Memangnya dia ngerti?”
“Iya lah kak. Ajak saja bicara,
lama-lama dia paham sendiri.”
Itu pertama kali saya paham,
mengapa orang dewasa selalu berusaha berkomunikasi dengan anak kecil – untuk
membuat mereka paham. Mungkin dengan begitu pula, akhirnya bayi bayi yang lahir
di belahan bumi berbeda bisa berkomunikasi dengan cara berbeda. Tapi tetap
saja, saya tidak bisa banyak berkomunikasi dengan Difa, karena saya harus pergi
untuk waktu yang cukup lama.
***
Saya tidak pernah benar-benar
menyukai anak kecil, hingga saya bertemu kembali dengan Difa beberapa bulan
lalu. Ada begitu banyak tingkah tak terduga dari bocah ini. Kadang membuat saya
bingung, kadang juga sampai tertawa karena kekonyolannya.
Suatu malam, saya menonton TV
bersama Difa. Tapi, anak kecil yang kini sudah berusia tiga tahun itu tidak
peduli dengan siaran TV yang saya tonton. Dia lebih tertarik bermain dengan tumpukan
kartu Dora The Explorer berwarna merah jambu di hadapannya. Bentuk kartu itu
sama seperti kartu joker yang dimainkan orang dewasa, hanya desain gambarnya
saja yang berbeda.
Untuk memainkan kartu itu, Difa
biasanya menyusunnya secara berurutan hingga membentuk persegi panjang. Sambil
menyusun, biasanya juga sambil bernyanyi “One little two little three little
busses ….” Tentu dengan artikulasi khas anak kecil, yang saya pun tidak akan
paham jika saja tidak pernah mendengar lagu itu sebelumnya.
Jika biasanya Difa bermain dengan
menyusun kartu, kali ini dia tidak tampak menyusun, tidak pula sambil
menghitung atau bernyanyi. Setelah saya perhatikan, ternyata kartu itu
dirobeknya menjadi bagian-bagian kecil. Tapi, bukan dengan tangan, melainkan
dengan giginya. Saya membiarkannya, saya pikir wajar saja anak kecil
menggigit-gigit atau merobek benda-benda yang dianggapnya mainan.
Satu kartu selesai dirobek. Lalu,
diambil lagi kartu kedua dan ketiga. Mulai curiga, jangan-jangan Difa akan
merobek semua kartu di hadapannya. Karena penasaran, saya akhirnya bertanya.
“Difa, kamu lagi apa?”
“Bla.. Bla.. Bla.. Puzzle!”
“Puzzle? Oooh.. Bikin Difa
puzzle? Hahaha…”
Ternyata kartu itu dirobek untuk
membuat puzzle. Puzzle memang salah satu mainan kesukaannya. Beberapa hari yang
lalu, ada dua bagian puzzle-nya yang hilang. Mungkin karena bagian yang hilang
itu, Difa jadi tidak bisa menyelesaikan puzzle-nya. Mungkin, karena ingin
bermain puzzle yang lengkap, dia jadi merobek-robek kartu yang bergambar Dora,
gadis betualang berambut cokelat sebahu yang sering ditontonnya di TV.
Apa jadinya jika saya hanya
memperhatikan tingkahnya tanpa mau mengajaknya berkomunikasi? Saya mungkin
tidak akan tahu, anak sekecil Difa, yang bicaranya pun masih belepotan,
ternyata sedang berusaha membuat Puzzle. Jawaban-jawabannya yang tak terduga,
dan tingkah lucunya, semakin membuat saya jatuh cinta. Itulah salah satu dari begitu banyak tingkah lucu Difa, anak kecil pertama yang membuat saya jatuh cinta.
#15harimenulis
Komentar
Posting Komentar